Minggu, 28 Februari 2016

PADANG 12 KETAPANG




Kota Gaib di Ketapang Kalimantan Barat


Kota mewah dengan penduduk yang sangat sejahtera itu berada di Provinsi Kalimantan Barat. Tepatnya di Kabupaten Ketapang atau sekitar 30 menit melalui jalur udara dari Bandara Supadio Kota Pontianak. Masyarakat Ketapang biasa menyebut wilayah itu dengan nama Padang 12 (dua belas).

Konon, bagi mereka yang pernah melihat kota itu, wilayah ini tampak lebih bersih dan indah dibanding negara maju yang ada dibelahan bumi manapun. Rumah mewah dan kendaraan seperti mobil Ferrari dan Roll Royce atau motor Harley Davidson menjadi pemandangan yang biasa melintas di kota ini. Bahkan pesawat pribadi maupun kapal pesiar juga dimiliki penduduknya.

Namun, ini merupakan Kota Ghaib yang ada di Ketapang. Tidak semua mata manusia dapat melihatnya. Bagi orang awam, wilayah yang terletak diantara Kecamatan Kendawang dan Pesaguan ini hanya tanah kosong seluas 12 KM persegi yang dipenuhi oleh pohon pinus dan ilalang layaknya sebuah padang rumput. Itulah alasan mengapa daerah ini disebut Padang 12.

Masyakarat Ketapang menyebut penduduk di Padang 12 dengan sebutan Orang Kebenaran. Sosoknya tidak berbeda dengan wujud manusia pada umumnya. Hanya saja, mereka tidak memiliki belahan diantara bawah hidung dan di atas bibirnya.

Masyarakat Ketapang mempercayai bahwa Orang Kebenaran atau juga biasa disebut Orang Limun ini adalah golongan manusia suci yang jujur dan taat beribadah. Namun tidak sedikit pula yang beranggapan mereka adalah sekelompok jin muslim yang sudah ribuan tahun menempati wilayah itu.

Menurut salah seorang warga Ketapang, Dodi, aktivitas Orang Kebenaran ini juga layaknya manusia biasa. Mereka terkadang juga pergi ke pasar yang ada di wilayah Ketapang untuk membeli kebutuhan mereka. Uniknya, mereka tidak selalu menggunakan uang sebagai alat pembayaran. Terkadang, Orang Kebenaran ini menggunakan kunyit atau rempah yang biasa dijadikan bahan masakan sebagai alat tukar.

"Kalau orang Padang 12 membayar pakai kunyit. Tapi kunyit itu besoknya jadi emas," ujar Dodi saat berbincang dengan Liputan6.com di Ketapang beberapa waktu lalu.

Dodi menuturkan, pernah suatu waktu ada seorang warga bertemu dengan nenek-nenek pada malam hari di sekitar Pasar Ketapang. Si nenek tersebut minta diantar pulang. Namun, ketika sampai di dekat kawasan Padang 12, si nenek yang membonceng sepeda motornya sudah hilang. "Orang itu ikhlas menolong nenek, jadi pas sampai rumah di motornya ada kunyit emas," tuturnya.

"Pokoknya bagi yang pernah ke Padang 12, mereka pasti kagum dengan kota itu. Ceritanya di sana itu bersih, indah, dan sudah sangat maju," lanjut Dodi.

Ada juga cerita menarik yang hingga ini sudah tersebar di Ketapang. Yaitu mengenai artis Rhoma Irama yang konon pernah diundang untuk menyanyi di Padang 12. Raja Dangdut itu mengaku sudah 2 kali manggung di Ketapang. Tapi hampir seluruh warga Ketapang menyebut Rhoma baru pertama kali manggung di Ketapang.

"Ceritanya bang haji Rhoma itu heran. Katanya Kota Ketapang yang saat dia manggung pertama sangat megah, kok sekarang berubah," terang Dodi.

Sayangnya, Liputan6.com saat ke Ketapang beberapa hari lalu tidak bisa menjangkau wilayah tersebut. Padahal jaraknya hanya sudah tinggal sekitar 2 km. Dodi tiba-tiba berubah pikiran dan meminta kami mengurungkan niat ke sana malam itu. Ia beralasan, selain jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dinihari hujan deras disertai petir terus mengiringi perjalanan kami. Jalan menuju ke sana pun sangat gelap gulita lantaran belum tersedia penerangan jalan.

"Percuma pun ke sana. Tak bisa kita lihat apa-apa, gelap. Lebih baik kembali, hujan sangat deras," terang warga melayu itu sambil memutar mobilnya.


Legenda Padang 12 oleh SegiEmpat


Kisah legenda yang juga cukup sering di ceritakan adalah fenomena yang dialami oleh seorang pria saat berada dalam perjalanan antara Ketapang menuju ke Kendawangan. Konon saat itu pria yang disebut bernama Mat Noor bertemu dengan seorang kakek dengan usia yang terlihat sudah sangat tua. Sepanjang perjalanan keduanya terus berbicara panjang lebar, hingga akhirnya kakek tersbeut turun di daerah Padang 12. Selama perjalanan disebut Mat Noor diberi sebuah permen oleh kakek tersebut namun bungkusannya di ambil kembali oleh kakek. Konon setelah kejadian itu Mat Noor berubah menjadi ahli terapi yang sangat ampuh menyembuhkan berbagai penyakit.

Kisah-kisah legenda mengenai Padang 12 hingga saat ini masih di terjadi bagi beberapa orang. Karena konon orang limun hanya bisa di jumpai oleh orang-orang yang memiliki hati yang suci dan baik. Beberapa legenda menyebut jika penghuni padang 12 atau yang dikenal dengan nama Orang Limun merupakan makhluk sebangsa jin muslim tapi ada juga yang menyebut jika mereka adalah keturunan langsung dari malaikat Marut dan Harut.


Sumber : By. Sugeng Triono On Liputan 6
Post By. Hery Monot - monotroy76@gmail.com
Image by Cool Text: Logo and Button Generator - Create Your Own Logo

Sabtu, 27 Februari 2016

Kisah Unik Jembatan Sambas

kisah jembatan-sambas-kalimantan



Jembatan Sambas amat terkenal dan menjadi penghubung antar kota di kawasan selatan propinsi Kalimantan Barat. Jembatan ini bukan hanya bersejarah, tapi juga dianggap keramat karena konon dikuasai oleh kaum Bunian (mahluk halus). Banyak kejadian aneh berlaku di jembatan sepanjang 150 m ini. Seperti penampakan-penampakan bangsa lelembut dan mahluk halus. Dulu, jembatan ini luput dari kehancuran saat dibom tentara Jepang.


Jembatan Sambas terletak di kota Sambas, atau berjarak 270 Km dari ibukota propinsi Kalimantan Barat, Pontianak ke arah selatan. Jembatan ini dianggap vital karena menghubungkan kota Bengkayang, Singkawang, Pemangkat, Sambas dan daerah-daerah kecil di bagian selatan Kalbar. Boleh dikata, ini jembatan satu-satunya yang menjadi nadi ekonomi dan transportasi masyarakat di sana. Keberadaan jembatan ini tak bisa lepas dari keberadaan kota Sambas yang unik.

Kota keramat

Kota Sambas sendiri dikenal sebagai kota keramat karena konon dikuasai oleh kaum Bunian (mahluk halus). Tak heran bila kota ini kerap disebut pula sebagai Negeri Kebenaran, sebutan lain untuk kaum Bunian. Menurut sejarah, Sambas tempo dulu merupakan sebuah kerajaan besar yang tilas-tilasnya hingga kini masih ada. Tak jauh dari pusat kota, masih berdiri Keraton Sambas yang megah, lengkap dengan kompleks keluarga kesultanan.

Kerajaan Sambas didirikan oleh Raden Soelaiman, yang bergelar Soeltan Moehammad Tsafioeddin I di Tanjung Muara Ulakan Lubuk Madung, pada tahun 1080 hijriah atau tahun 1687 masehi. Kerajaan ini mengalami masa jaya semasa diperintah oleh Soeltan Moehammad Tsafioeddin II. Cerita dari mulut ke mulut menyebut daerah ini kerap kedatangan kaum Bunian setelah salah seorang putra mahkotanya yang bernama Raden Sandi Braja menghilang secara misterius dan menjadi raja di kerajaan Bunian.

Menurut cerita, jenazah raden Sandi meninggal karena sakit yang tidak ada obatnya, dan kemudian jasadnya menghilang diambil kaum Bunian. Lalu Raden Sandi dijadikan raja kaum Bunian yang berpusat di Kecamatan Paloh. Peristiwa itu terjadi sebagai tebusan atas nyawa burung peliharaan sang Puteri Kebenaran (kaum Bunian) pada saat beliau berburu di hutan Paloh. Hanya saja, sejauh mana kebenaran cerita ini masih sulit dibuktikan.

Jembatan Sambas

Bagaimana dengan jembatan Sambas yang keramat itu? Benarkah jembatan ini tak mempan dibom oleh tentara Jepang? Pada tahun 1941, tanda-tanda berakhirnya pendudukan 3,5 abad tentara Belanda di nusantara mulai terlihat. Pasukan Jepang mulai terlihat memasuki kawasan nusantara dengan peralatan tempurnya. Termasuk daerah Kalimantan Barat. Pasukan Jepang memang berusaha keras mematahkan kekuatan Belanda yang ada di Kalimantan Barat termasuk Sambas. Salah satunya melumpuhkan sarana ekonomi dan transportasi darat, seperti jempatan.

Nah, negeri matahari terbit itu melihat jembatan Sambas sangat vital dan perlu dihancurkan untuk melumpuhkan kekuatan Belanda. Bulan Desember 1941, menjadi saksi bisu. Dengan melibatkan sekitar 27 pesawat tempurnya, tentara Jepang menyerang Angkatan Udara Belanda di Sanggau Ledo. Ternyata target serangan tersebut tidak saja untuk menghancurkan pangkalan Angkatan Udara Belanda, namun juga pada jembatan Sambas dan jalan raya yang menghubungkan kota Singkawang, Pemangkat dan Sambas serta Bengkayang.

Akan tetapi, keajaiban pun terlihat. Jembatan dan jalan yang dibangun oleh Sultan Moehammad Tsafioeddin II ini tak hancur sedikitpun. Padahal, bala tentara Jepang melihatnya telah hancur. Tak hanya itu. Muntahan peluru dan bom bak hujan lebat itu menerjang apa yang ada di bawahnya. Lucunya, hujan bom dan peluru itu justru jatuh di kawasan hutan belantara.

Padahal sebelumnya, tentara Jepang melihat kawasan yang berada di bawahnya itu merupakan kota yang sangat ramai dan megah. Menurut keterangan, itulah istana dari kerajaan Bunian yang terletak di Paloh. Tentu saja harapan Jepang meluluhlantakkan daerah Sambas tidak tercapai. Sebab lokasi yang dibom tersebut tiada lain hanyalah hutan belantara saja. Karena pengecohan ini kerajaan Sambas yang menjadi target sasaran penyerangan tetap berdiri dengan megahnya.

Sudah barang tentu, Sultan Moehammad Mulia Ibrahim Tsafioeddin, raja ke-15 kerajaan Sambas dan seluruh kawulanya aman dan selamat dari serangan itu. Dan hingga kini jembatan kokoh penghubung kota Sambas dan kota lainnya di Kalimantan Barat tetap berdiri. Ia menjadi saksi bisu sejarah kerajan Sambas. “Orang-orang Bunian akan selalu menjaga Sambas untuk selamanya. Percayalah tak akan ada satu orang pun yang bisa menghancurkan sambas, kecuali seizin Yang Maha Kuasa,” tutur Hasan, kuncen keraton Sambas.

“Sambas tok beh kote kramat. Sian ade yang sanggop nguasaek nye. (Sambas itu kota kramat, tidak akan ada yang bisa menguasainya),” tutur Hasan lagi. Alhasil, baik Sambas maupun jembatan keramat itu masih kokoh berdiri hingga kini.

Sumber / Penulis : Eko Risanto - Copyright2015@Kang Sambas


Post By. Hery Monot - monotroy76@gmail.com

KAUM BUNIAN

Kisah Kehidupan Bunian Sambas

Cerita tentang kehidupan bangsa lelembut ini bukan isapan jempol. Masyarakat Kalimantan Barat amat yakin kaum Bunian adalah realita. Seringkali makhluk halus itu membaur dengan manusia, meski tak disadari kehadirannya. Pada saat-saat tertentu, kerap orang melihat kaum Bunian berada di tengah keramaian. Sang lelembut tampak layaknya manusia biasa. Hanya saja, sebuah ciri fisik tak bisa menutupi mereka. Di wajah mereka tak ada garis antara hidung dengan bibir atas. Alisnya juga menyatu. Parasnya memang aneh dan berkesan menyeramkan.

Ada satu hal yang tidak boleh dilakukan manusia bila berada dekat dengan kaum Bunian: jangan sekali-kali mengikuti ajakannya. Bila itu dilakukan, maka ia akan masuk ke alam gaib mereka dan tidak akan bisa kembali. Pusat komunitas kaum Bunian terletak di sekitar Pantai Selimpai, Kecamatan Paloh. Juga terdapat di seputar Tanjung Batu, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Tatanan kehidupan kaum Bunian amat teratur. Itu karena mereka di kelola oleh sistem kerajaan yang tertib. Mereka pun bukan tipe makhluk pengganggu yang suka
meneror manusia. Bahkan sebaliknya, sekali waktu mereka terlihat membaur dengan manusia untuk memberi bantuan.

Kasus perang etnis di Sambas beberapa waktu lalu, konon juga melibatkan kaum Bunian ini. Raja mereka sengaja mengerahkan pasukan Bunian untuk menghalau etnis tertentu yang dianggap mengganggu ketenteraman hidup etnis pribumi. Namun tetap saja perbedaan alam dengan mereka menyebabkan manusia takut.

Pendeknya, kehidupan kaum Bunian bukan sekadar cerita. Tapi benar-benar nyata. Bila ingin menemui kaum Bunian, datanglah ke pusat komunitas mereka di sekitar Pantai Selimpai atau Tanjung Batu. Tentu saja, tidak begitu saja seseorang bisa berhubungan langsung dengan bangsa lelembut ini. Melainkan harus dengan bantuan orang yang menjadi perantara.

Di kedua pantai tersebut, selalu ada orang yang bisa menjadi perantara dengan orang-orang dari bangsa Bunian. Menurut Hendra Sukmana, aktivis LSM yang kini menjabat Ketua Panwaslu Kota Singkawang, tanpa perantara, tak mungkin orang biasa bisa bertemu langsung dengan kaum Bunian. Hanya orang yang punya kemampuan khususlah yang bisa berinteraksi langsung dengan mereka. Tanpa memiliki kemampuan semacam itu, maka orang-orang hanya bisa melihat pantai ini sebagai objek wisata yang indah saja. Tidak lebih dari itu.

Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, bisa saja orang biasa berjumpa dengna kaum Bunian. “Sewaktu-waktu orang biasa pun sering berjumpa dengan kaum Bunian yang tengah berada di sekitar mereka. Seperti di pasar-pasar rakyat, di dalam mobil angkutan umum, di pinggir sungai, bahkan di supermarket,” tuturnya kepada penulis.

Nah, ketika itu, terang Hendra, jangan sekali-kali berbuat ceroboh. Misalnya, sok akrab dengan sengaja menyapa mereka. Se¬bab bila tidak memiliki bekal batin yang kuat, kita bisa terpengaruh oleh ajakan mereka. Apalagi bila kaum Bunian yang menampakkan diri itu adalah kaum hawa. “Jika tidak ku¬at iman, kita bisa terpikat. Kalau itu terjadi, maka kita tidak akan bisa kembali ke dunia manusia lagi,” ujar Hendra.

“Diculik” Kaum Bunian

Bila orang kedatangan kaum Bunian, dipastikan bakal dicekam rasa takut. Kemunculannya memang kerap membuat bulu kuduk merinding. Wajar saja, siapa yang tidak takut bila di datangi mahluk halus. Apalagi selama ini berkembang anggapan bila kaum Bunian selalu membawa manusia ke dunianya. Cerita-cerita bangsa manusia sering dibawa ke alam kaum Bunian ini sudah sering terdengar.

Misalnya satu kejadian pada paruh akhir tahun 1995 di daerah Sejangkung, Sambas. Ketika itu ada anak kecil kelas 2 SD yang tidak kembali ke rumah setelah pulang sekolah. Sementara teman-teman lainnya sudah sampai di rumah. Maka keluarga si anak ini pun cemas. Mereka mencari-cari si anak ke rumah neneknya, namun tidak ditemukan. Begitu juga ditanyakan kepada teman-temannya, mereka tidak tahu.

Hingga akhimya, orang tua si anak menghubungi orang pintar di daerah itu. Setelah melalui deteksi batin, orang pintar ini mengatakan bila si anak dalam keadaan selamat. Cuma, saat ini ia tengah berada di tengah lingkungan kaum Bunian. Keterangan itu sedikit banyaknya bisa diterima keluarga. Sebab ketika ditanyakan kepada salah seorang temannya, ia mengatakan bila setelah pulang sekolah, anak ini diajak pergi beberapa anak kecil yang tidak dikenal. Orang pintar ini pun lantas menyimpulkan bila yang mengajak si anak hilang ini adalah anak-anak kaum Bunian.

Mendapat keterangan demikian, orang tua si anak amat cemas. Mereka dihinggapi pikiran negatif jika si anak tak akan bisa kembali lagi ke dunia manusia. Orang pin¬tar yang dimintai bantuan ini malah tersenyum. Ia lalu pamit untuk melakukan sesuatu. Nah, ketika hari mulai senja, tiba-tiba tiupan angin kencang menghantam rupa orang tua si anak hilang.

Peristiwa itu dirasakan betul oleh seluruh penghuni rutnah. Mereka pun dicekam ketakutan luar biasa. Sebab kejadian itu sangat tidak lazim. Di tengah-tengah suasana mencekam itu, tiba-tiba pintu rumah diketuk seseorang. Saat dibuka, ternyata si anak hilang itu sudah berdiri di depan pintu. Orang tua keluarga itu pun merasa senang karena anaknya telah kembali.

Ketika ditanya kemana saja dia pergi, dengan polos anak ini mengatakan bila ia pergi bersama teman-teman barunya naik perahu besar. Lalu dia di bawa berlayar entah ke mana. Meski semuanya orang-orang asing, tapi si anak ini merasa senang. Sebab selain bersama teman-teman baru, dia juga bisa bermain bersama. Menurut si anak, setelah puas bermain, perahu besar itu kembali merapat. Dia kemudian diantar teman-temannya pulang ke runah. Belakangan, teman-temannya itu tiada lain adalah kaum Bunian.

Dibawa ke Alam Gaib

Meski ada yang kembali ke dunia manusia setelah berhubungan dengan kaum Bunian, ternyata banyak pula yang tidak kembali alias terbawa ke alam gaib. Hal itu, bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, memang sudah dikehendaki manusianya sendiri untuk bergabung dengan dunia Bunian. Ini terjadi bila, umpamanya, seorang pria jatuh hati dengan wanita dari bangsa lelembut itu. Selanjutnya orang ini ingin berhubungan terus hingga kepelaminan. Tentu saja, orang ini tidak akan kembali ke alam nyata.

Sebab kedua, seseorang tergiur oleh ajakan kaum Bunian. Inilah yanag selalu diwanti wanti setiap orang agar berhati-hati dan jangan mudah tergiur ajakan mereka. Ada satu peristiwa di tahun 1990-an. Dulu, pernah ada seorang pemuda bernama Mahyan. Ia dinyatakan hilang. Semula, orang-orang desa mengira dia pergi ke Pulau Tambelan untuk bekerja di bagan, tempat mencari ikan. Namun, pakaiannya di lemari masih utuh. Itu menandakan bila Mahyan tidak pergi kemana-mana, atau pergi tanpa pamit.

Menurut cerita teman-temannya, tadi malam Mahyan berkenalan dengan seorang wanita. Kebetulan sejak beberapa hari lalu, ada pekan hiburan rakyat di depan kantor kecamatan. Nah, sejak berkenalan itu teman-temannya tidak melihat lagi batang hidung Mahyan. Sampai keesokan harinya, Mahyan tidak kembali. Bahkan hingga berhari-hari, minggu, bulan dan tahun. Seterusnya, Mahyan tak diketahui lagi dimana rimbanya. Orang-orang di kampung berkeyakinan bila Mahyan hilang karena di bawah ke alam kaum kaum Bunian.

Ciri Kaum Bunian

Fenomena kaum Bunian sudah mendarah daging dalam masyarakat Sambas. Meski kerap muncul rasa takut bila didekati kaum Bunian, namun masyarakat di sana sudah terbiasa. Malah boleh dikata, mereka tak merasakan lagi adanya persoalan. Meski begitu, membicarakan soal Bunian bagi mereka, adalah tabu. Mereka lebih memilih diam dari pada bercerita kaum Bunian. Atau kalaupun menceritakannya, tapi secara bisik bisik. Seolah-olah takut nada bicaranya didengar orang lain, terutama kaum Bunian.

Bila tiba-tiba mereka merasakan kedatangan kaum Bunian, orang-orang Sambas lazim mengatakan, "Oh, insanak datang!" Setelah itu secara tak diam-diam dia akan menjauhi orang Bunian itu. Bisakah kaum Bunian ini dibedakan dengan manusia biasa? Tentu saja bisa. Bahkan perbedaannya amat menyolok. Rudi Fitrianto (38), warga Kota Singkawang, mengatakan bila perbedaan itu tampak pada penampilan fisik.

Misalnya pada bagian wajah. Kaum Bunian dikenal tidak memiliki garis atau tepatnya lekukan yang memanjang antara hidung den¬gan bibir atas. "Itu adalah ciri kodrati kaum Bunian,” tutumya. Inilah ciri fisik yang sangat jelas membedakan kaum Bunian dengan manusia. “Kalau kita melihat seseorang yang tidak memiliki garis bibir itu, maka dipastikan orang itu adalah kaum Bunian,” tuturnya lagi.

Ciri lainnya, kaum Bunian memiliki bentuk alis yang khas. Alisnya lebat dan tampak seperti menyatu. Ciri seperti ini, boleh jadi terdapat pada sebagian kecil manusia. Selebihnya, bentuk fisik kaum Bunian dengan manusia nyaris sama. Misalnya soal tinggi badan. Karena itu, bila berpapasan secara sepintas, nyaris seseorang tak dapat membedakan dia adalah Kaum Bunian atau manusia. Selebihnya, terang Rudi, wujud kaum Bunian memang halus. Sehingga banyak orang menyebutnya makhluk halus atau lelembut.

Meski mereka mahluk halus yang terkadang menampakkan diri, ada orang-orang tertentu yang bisa melihat kaum Bunian dalam keadaan secara kasat mata. Mereka adalah orang-orang tua dan anak-anak kecil, meski tidak semuanya. Beberapa tahun lalu, ketika pecah perang etnis di Sambas, banyak anak-anak kecil yang sering duduk dipinggir sungai Sambas. Ketika ditanya mengapa duduk-duduk di situ, mereka menjawab sedang melihat kapal besar yang mengangkut banyak orang. Kapal itu terlihat menuju Keraton Sambas.

Kebenaran cerita anak-anak itu diperkuat kenyataan bila di halaman Keraton Sambas, secara tiba-tiba berkibar bendera wama kuning. Itulah bendera khas Kerajaan Sambas tempo dulu, yang sejak lama tidak pernah dikibarkan. Keadaan itu memberikan sinyal bila bangsa Bunian tengah berkumpul di sekitar Keraton Sambas. Hanya saja wujud mereka tidak terlihat. Dan pada malam harinya, warga Sambas melihat kotanya sangat ramai sekali. Namun mereka sama sekali tidak mengenal orang-orang itu datang dari mana. ***

Asal Usul kaum Bunian 


Tidak bisa dipungkiri kemunculan Kaum Bunian sedikit banyak memberi perasaan takut dalam diri manusia. Meski mereka sebenarnya tidak mengganggu. Kemunculannya kerap membuat bulu kuduk merinding. Maklum, perbedaan alam mereka telah membuat semacam jurang pemisah. Padahal, bila ditelusuri, asal usul kaum Bunian ini adalah manusia juga. Keberadaan mereka sangat erat hubungannya dengan kerabat Keraton Sambas. Siapakah sebenarnya kaum Bunian ini ?
Tahun 1757 M, Kerajaan Islam Sambas berada di puncak kejayaan. Raden Djamak yang bergelar Sultan Oemar Aqqamaddin (II), naik tahta. Ia mengantikan ayahanda Sulta Abubakar Kamaluddin, keturunan Sultan Hasan Ibnu Syaiful Rizal. Keraton Sambas kerap pula disebut istana Alwaat Zik Hubbillah. Keraton ini terletak di muara Ulakan yang menghadap persimpangan tiga cabang anak sungai, yakni Sungai Sambas, Sungai Teberau dan Sungai Subah.

Diujung utara berlatar belakang Gunung Senuju yang melengkung hijau, sementara di sebelah timur berderet bukit barisan yang dinamakan Pegunungan Sebedang. Di muara Sungai Sambas selatan diapit dua gunung, yaitu Gunung Gajah dan Gunung Kalangbau. Karena kondisi geografis itulah, negeri Sambas menjadi terkenal. Negeri itu aman dan makmur dengan julukan “negeri laksana kembang setaman”.

Keraton Sambas didirikan oleh Raden Sulaiman yang bergelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I di Tanjung Muara Ulakan Lubuk Madung, tahun 1687 Miladiyah. Atau bertepatan dengan tahun 1680 Hijriah. Raden Sulaeman adalah putra dari Giri Mustika, Raja Tengah, yang menikah dengan putri Surya Kencana, adik raja Panembahan yang memerintah Kerajaan Tanjungpura. Perkawinan itu terjadi karena kapal yagn ditumpangi Raja Tengah dihantam badai di sekitar Pulau Tanjung Datuk. Kejadiannya saat ia pulang dari Keraton Johor menuju Sarawak.

Tanjung Datuk sendiri terkenal angker. Menurut cerita, Tanjuk Datuk atau Paloh itu adalah pusat pemerintahan orang-orang Bunian. Kerajaan Sambas Tua terletak di Kota Lama dan berada di wilayah Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Ratu Sepudak, yang merupakan pendiri kerajaan kecil itu pada jaman sebelum masuknya pengaruh Islam ke Sambas.

Menurut beberapa sumber, kerajaan kecil di Paloh pada mulanya dipimpin oleh Pangeran Prabu Kencana yang bergelar Ratu Anom Kesuma Yoeda. Lengsernya beliau dari tahta pemerintahan karena pemberontakan yang dilakukan oleh anak angkatnya yagn berasal dari negeri Bunian bernama Tan Nunggal. Dan menurut cerita dari mulut ke mulut di kalangan kerabat istana, yagn saat ini memerintah di Kerajaan Bunian adalah keturunan raja sambas bernama Raden Sandi. Raden Sandi dinyatakan menghilang dari kerajaan, karena diambil kaum Bunian.

Menurut Hasan (65), kuncen Keraton Sambas, yagn juga masih keturunan Pangeran Bendahara, putra Sultan Moehammad Tsafiuddin II, menolak jika raibnya sang pangeran karena diambil untuk dijadikan raja di Kerajaan Bunian. “Itu tidak benar. Tidak ada orang Bunian yang mengambil Raden Sandi. Beliau Raib karena kehendak Allah semata,” tuturnya.
Raden Sandi Braja, kata Hasan, adalah salah satu putra raja Sambas Sultan Moehammad Tsafioeddin II. Ia termasuk sosok yang jenius dan mampu menyelesaikan sekolah sekolah sebelum waktunya. Tanggal 8 Desember 1890, ia melanjutkan sekolah ke tanah Jawa diantar Menteri Pangeran Tjakranegara Pandji Anom. Keberangkatannya bersamaan dengan diasingkannya sang ayahanda ke tempat pembuagnan oleh Penjajah Belanda.

Raden Sandi dan saudaranya Raden Mohammad diserahkan kepada Tuan Bestantjesdijk, direktur Opleideing School di Bandung. Dan, lima tahun kemudian keduanya kembali setelah berhasil menyeelsaikan pelajarannya dengan baik. Seusai itu ia langsung diangkat menjadi putra mahkota, namun belum sempat menduduki tahta, beliau meninggal dunia.

Ada beberapa versi soal kematian Raden Sandi Braja. Konon, sang pangeran muda jatuh cinta pada seorang gadis dalam lingkungan istana. Sayangnya, hubungan itu tidak direstui Datu Sultan. Maklum, sang gadis ternyata masih saudara sendiri. Ini sangat dipantangkan di keraton.

Sebenarnya, sang pangeran mdua itu telah dijodohkan dengan gadis yagn berasal dari Negeri Titis Sepancuran, Brunai Darussalam. Karena memang begitulah pesan leluhur memerintahkan. Tapi ia tetap saja menolak, sampai akhirnya mengambil jalan tengah. Dengan lapang dada ia menerima saran dari ibundanya. Sarannay, jika tetap menolak untuk dijodohkan dengna puteri dari Brunai, maka ia diperbolehkan mencari puteri dari negeri lain, asalkan bukan dengan saudara sepupu sendiri. Maka berangkatlah Raden Sandi ke negeri Johor.

Tapi, baru beberapa bulan di sana, ia mendapat kabar bahwa kekasihnya telah dinikahkan dengna seorang lelaki asal negeri Siak. Mendengar kabar tidak sedap itu, Raden Sandi langsung membatalkan perantauannya. Ia pulang ke Sambas untuk membuktikan kebenaran kabar iut. Dan, kenyataannya telah membuatnya sakit hati. Ia tak menyangka ayahandanya sampai hati memtuuskan hubungan mereka. Maka tanpa pikir panjang lagi, Raden Sandi melampiaskan amarahnya. Ia mengamuk dan tak seorang pun mampu menahan kehebatannya.

Usai melampiaskan kemarahannya, ia bersumpah tak akan menduduki tahta kerajaan dan akan meninggalkan Sambas selama-lamanya. Agaknya, takdir berkehendak lain. Belum sempat Raden Sandi meninggalkan istana Sambas, ia terserang penyakit yang tak ada obatnya. Penyakit itu akhirnya merenggut jiwanya. Namun sebuah keajaiban terjadi.
Sesaat setelah mengembuskan nafas, tubuh Raden Sandi hilang entah ke mana. Yang tinggal hanyalah batang pisang. Raden Sandi hilang secara misterius.

Menurut sebagian kawula istana, jenazah putra mahkota itu lenyap misterius dan digandi batang pisang. Tapi banyak pula yagn mengatakan bila ia mati diambil oleh orang Bunian di Paloh. Konon, itu sebagai tebusan atas nyawa burung peliharaan Putri Kibanaran (Orang Bunian) yagn tewas saat Raden Sandi berburu di hutan Paloh. Orang pintar dari keraton menyatakan bahwa Raden Sandi Braja telah menjadi raja di Negeri Kibanaran.

Belakangan, ada beberapa sumber yang menyebut bahwa dulu pernah ada pengusaha dari Singapura yagn pergi ke Bandar Paloh dan berjumpa dengan Raden Sandi. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa suasana di Bandar Paloh sangat ramai dan sibuk, laksana pelabuhan laut sebuah negara besar. Transaksi dagang dengan Raden Sandi pun berlangsung. Tapi apa yang terjadi.

Saat sang pengusaha yang bernama Taib bin Djasman membuka map transaksi di depan rekannya dari Jakarta, kertas berharga itu hanyalah selembar daun sirih yang sudah layu. Dengan penasaran sang pengusaha itu kembali ke Bandar Paloh. Tapi, yang didapat di sana berbeda. Yang dia lihat sekarang hanyalah sebuah desa dan pasar kecil di pinggir sungai kecil. Sebagian kawasan masih ditumbuhi hutan lebat. 

Sisi Lain Keraton Sambas

Masa keemasan Kerajaan Sambas telah berakhir. Namun sisa-sisa kebesarannya masih bisa disaksikan hingga kini. Salah satunya adalah keberadaan Keraton Sambas yang masih berdiri kokoh di sisi muara dari tiga cabang anak sungai di Sambas. Rasa hormat masyarakat pun masih tinggi terhadap keluarga keraton. Uniknya, banyak kisah-kisah kisah seputar keraton yang sulit diterima logika.

Sulit rasanya mencari keterangan lengkap asal mula nama Sambas. Namun, cerita rakyat, menyebut bahwa nama Sambas berasal dari dua orang sahabat yakni Samsudin dan Abas. Samsudin berasal dari Suku Daya dan Abas suku Melayu. Di antara mereka ada seorang tokoh keturunan Tionghoa. Dalam bahasa Cina, persahabatan mereka disebut Sam yang artinya tiga. Maka orang-orang Tionghoa di sana menyebut mereka Sambas.

Menurut satu versi, asal mula Sambas berasal dari Paloh, pusatnya kerajaan urang Kibanaran atau kaum Bunian. Dan orang yang kali pertama kawin dengan kaum Bunian adalah Samsudin. Sejak perkawinannya dengan kaum Bunian di Paloh, Samsudin tidak pernah memperlihatkan dirinya lagi. Dikabarkan bila Samsudin telah menjelma menjadi bangsa Kibanaran atau kaum Bunian. Wujudnya menghilang dan tak nampak lagi oleh pandan¬gan mata.

Namun meski berbeda alam, Samsudin masih mengikuti kedua sahabatnya. Ke manapun mereka pergi, Sam selalu ikut. Begitu pula sebaliknya. Persahabatan mereka kekal dan dikenal sejarah hingga kini. Sampai suatu ketika, ketiga sahabat ini meneguhkan perjanjian untuk tidak saling menyakiti sampai akhir hayat. Sejak itu seakan tercetus ikrar antara suku Dayak yang disebut orang darat dan suku Melayu yang disebut orang Laut.

Sebagai tanda ikrar, diambillah sebongkah batu bekas reruntuhan Gunung Sibatu. Terucaplah ikrar keramat mereka, "jika batu itu timbul, maka akan perang orang darat melawan orang laut. Serta merta dengan ikrar, dibuanglah batu di persimpangan Sungai Tibarrau dan Sungai Subah.Tiba-tiba air tempat jatuhnya batu berputar, seperti hendak memberikan peringatan bahwa janji yang dibuat tak boleh dilanggar.

Sampai saat ini, masih bisa disaksikan air di sekitar tempat itu masih berputar. Orang-orang Sambas menyebutnya Muara Ulakkan, karena air mengulak atau berputar. Akhirnya tercetuslah nama Sambas yang berasal dari Samsudin dan Abas. Daerah itupun dikenal banyak buayanya. Salah satunya terdapat seekor bu¬aya kuning. Oleh penduduk di sana, raja air itu dinamakan Nek Goro atau Nek Agou. Bila cuaca hujan rintik yang dibarengi sinar matahari (hujan panas), buaya ini akan menampakkan diri. Ia berenang hilir mudik dengan tenangnya.

Sumur Keramat


Di sisi Keraton Sambas, terdapat sebuah sumur yang airnya berwarna keputih-putihan. Sumur ini sangat dikeramatkan karena memiliki keampuhan. Bagi warga Sambas, kisah beberapa tahun lalu masih terngiang-ngiang. Beberapa tahun silam, sumur keraton ini sangat populer. Tepatnya ketika meletus kerusuhan antarsuku yang memakan banyak korban. Tragedi berdarah itu terekam dalam lukisan besar di dalam ruangan utama Keraton Sambas. Sehari-harinya, air sumur ini tak pernah digunakan. Sebab keluarga keraton lebih sering memakai air sungai untuk keperluan sehari-hari.
Menurut cerita, air sumur ini memiliki keampuhan yang sangat luar biasa. Hanya saja, keajaiban air sumur ini muncul bila terjadi suatu keadaan darurat. Misalnya setelah minum air sumur ini, tubuh menjadi kebal terhadap ba¬cokan berbagai jenis senjata tajam. Selain itu, orang yang meminumnya bisa tumbuh kepercayaan diri yang kuat dan keberanian luar biasa.

Dahulu, ketika tentara Jepang dan Belanda menguasai Sambas, kelakuan mereka sangat kejam dan bengis. Selain menindas, mereka juga kerap menyiksa rakyat. Tidak sedikit korban jiwa terenggut. Untunglah, air sumur keramat Keraton Sambas bisa menjadi solusi. Setelah meminum air sumur ini, orang pun jadi kebal. Selain itu muncul pula keberanian orang ini untuk untuk melawan kaum jenjajah.

Ada satu orang yang disebut-sebut berada dibalik kemujaraban sumur keramat ini. Dia adalah Raden Sandi Braja, putra mahkota Kerajaan Sambas, yang kemudian menjadi Raja di negeri kaum Bunian. Dengan kesaktiannya Raden Sandi membuat air sumur itu menjadi mujarab. Konon, tujuannya membuat sumur ini tak lain agar keluarga dan kawula Keraton Sambas dapat membela diri dan sekaligus terhindar dari penindasan bangsa lain.


Sumber / Penulis : Eko Risanto - Copyright 2015@Kang Sambas
Post By. Hery Monot - monotroy76@gmail.com

Kamis, 25 Februari 2016

AWAL MULA KESULTANAN SAMBAS



1. Perjalanan Sejarah Sambas

Sejak tanggal 15 juli 1999, kota Sambas telah kembali bangkit menjadi ibukota kabupaten Sambas. Sebelumnya kota Sambas hanya menjadi ibukota kecamatan salah satu kecamatan dalam kabupaten daerah tingkat II Sambas yang beribukota di Singkawang ( sejak tahun 1957-1999 )

kalo kita lihat kebelakang sejarah Sambas, adalah sebuah kerajaan besar di Kalimantan maupun nusantara Indonesia. Kesultanan sambas terkenal besar sejak sultan Sambas yang pertama Sultan Muhammad Syafiuddin I ( 1631 - 1668 ). Kejayaan kesultanan sambas telah membesarkan nama negri Sambas,sampai pada Sultan Sambas ke-15 yaitu Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin (1931-1943).Kerajaan Sambas sirna ketika Sultan ke-15 ini wafat karena ditangkap dan di bunuh oleh tentara pendudukan jepang tahun 1943.Kekejaman facisme jepang meruntuhkan kejayaan Sambas.

Nama dan kejayaan Sambas sesungguhnya tidak hanya dimulai dari sultan Muhammad Syafiuddin I ( 1631 - 1668 ). Sejak abad ke- 13 masehi sudah ada kekuasaan raja raja Sambas. Bermula dari kedatangan prajurit Majapahit di Paloh. Kemudian pusat kerajaan Sambas berpindah ke kota lama di Teluk Keramat. Dari kota lama berpindah ke kota bangun di sungai sambas besar. dari kota bangun pindah lagi ke kota Bandir dan kemudian pindah lagi ke Lubuk Madung yang konon menurut cerita, rombongan Raden Sulaiman pernah singgah di Tebas. Mereka sempat menebas daerah ini tetapi kemudian di tinggalkan, dan di namakanlah daerah itu dengan nama Tebas.

Barulah pada masa sultan sambas ke-2 yaitu Raden Bima gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1668-1708) pusat Kesultanan Sambas dibangun di Muara Ulakan,di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil,sungai Subah dan sungai Tebarau.Sejak tahun 1668 Kota Sambas itu meliputi daerah Pemangkat, Singkawang dan daerah Sambas sendiri , yang kaya akan emas.

Sejak jaman pendudukan Jepang dan NICA ( 1942 - 1950 ). Intregitas kerajaan Sambas telah sirna karena terlibat dengan pergolakan perang dunia II. Ketika daerah Sambas atau Kalimantan Barat kembali bernaung di bawah NKRI pada tahun 1950, dan di bentuknya pemerintahan administrative Kabupaten Sambas, rakyat Sambas sesungguhnya menuntut agar kota Sambas tetap menjadi ibukota kabupaten Sambas. Keinginan rakyat Sambas ini adalah sebagai upaya melanjutkan kembali kejayaan negri Sambas sejak pemerintahan para Sultan Sambas dari tahun 1631 - 1950.

Alhamdulillah , keinginan rakyat Sambas akhirnya menjadikan kota Sambas sebagai ibukota Kabupaten Sambas terwujud sejak tanggal 15 Juli 1999. Pemerintahan Sambas yang telah sirna sejak tahun 1943 akhirnya kembali 50 tahun kemudian yaitu tahun 1999.


2. Purba sejarah Sambas 
 
Riwayat kerajaan dan para Sultan Sambas berdasarkan catatan tertulis dan benda peninggalan secara jelas dimulai pada awal berdirinya kesultanan islam Sambas pada awal abad ke-17.Sumber tertulis utama tentang kesultanan Sambas,adalah tulisan Sultan Muhammad Syafiuddin II berjudul “Silsilah Raja-raja Sambas” yang tertulis sendiri oleh Sultan Sambas ke-13 itu pada bulan Desember 1903

Sumber tertulis utama dari Negara Brunai Darussalam adalah kitab “Silsilah Raja-Raja Brunai”.Sumber sejarah kesultanan Sambas berkaitan dengan kerajaan Brunai telah diterbitkan dalam tiga buah buku oleh Pusat sejarah Brunai.Ketiga buku tersebut adalah :

1. “Tarsilah Brunai,sejarah awal dan perkembangan islam”(thn 1990) 
2, “Raja tengah, Sultan Serawak Pertama dan Terakhir”(thn 1995)
3. “Tarsilah Brunai, Zaman kegemilangan dan Kemashuran”(thn 1997)

Didalam sejarah Raja-raja Brunai maupun Silsilah Raja-Raja Sambas, riwayat kesultana Sambas dijelaskan mulai masa Raja tengah,Raja Serawak yang selam 40 thn berada di Sukadana dan Sambas (1600-1641).Raden Sulaiman adalah putera Raja Tengah dari perkawinan Raja Tengah dgn Puteri Surya Kusuma,puteri sultan Matan/Sukadana,Sultan Muhammad Syafiuddin.Kemudian Raden Sulaiman adalah Sultan Sambas pertama: 1631-1668.

Namun Sejarah Sambas sudah bermula jauh sebelum Raden Sulaiman berkuasa.Walaupun tidak didapatkan catatan tertulis tentang purba sejarah Sambas,dari catatan kerajaan Majapahit dan Kronik-kronik Kaisar Cina,disebutkan bahwa Sambas sudah ada sejajar dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan,Jawa,Sumatera,Malaka dan Brunai serta Kekaisaran Cina pada abad ke-13 dan ke-14.

Masa purba sejarah Sambas dan Kalimantan masih diliputi kabut ketidakpastian karena tidak banyak data dan informasi yang diperoleh.namun daerah bagian Barat Kalimantan telah banyak dikenal oleh para pelancong dan pedagang asing dari Cina,India dan Arab sejak abad ke-10.


Post By. Hery Monot - monotroy76@gmail.com  
Sumber : dinas pariwisata sambas --- dino-bal 


ARTIKEL LAIN :

Sejarah Singkat Kesultanan Sambas
kisah Kaum Bunian Sambas
Kisah Unik Jembatan Sambas   
SEJARAH SINGKAT KESULTANAN SAMBAS



Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono. 
Pada saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. 
Rombongan Bangsawan Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari 10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama "Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar "Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M. 
Pada masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin Sultan Muhammad Hasan (Sultan Brunei ke-9) datang dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas dan kemudian menetap di wilayah Sungai Sambas ini (daerah Kembayat Sri Negara. Anak laki-laki sulung Sultan Tangah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru yaitu Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1671 M. 


Sejarah Berdirinya Kerajaan Sambas

Sebelum berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1671 M, di wilayah Sungai Sambas ini sebelumnya telah berdiri kerajaan-kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah :

1. Kerajaan Wijaya Pura sekitar abad 7 M - 9 M
2. Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M - 14 M
3. Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15 M
4. Panembahan Sambas pada abad 16 M
5. Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20 M

Secara otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kitab Negarakertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365 M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu rajanya bernama Nek Riuh. Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun demikian berdasarkan benda-benda arkeologis (berupa gerabah, patung dari masa Hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di wilayah ini diyakini telah berdiri sebuah kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia, sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura. 

Kedatangan rombongan bangsawan Majapahit di Sambas dapat berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik bukanlah hanya karena wilayah Sambas pada waktu itu tidak be-raja (tidak mempunyai penguasa) setelah era Raja Tan Unggal, tapi lebih disebabkan karena penduduk Sambas pada waktu itu mempunyai kepercayaan yang sama dengan rombongan Majapahit tersebut, yakni Hindu. Hindu sudah berkembang di Nusantara sejak berdirinya Kerajaan Kutai Martadipura (era pemerintahan Mulawarman) sampai kepada Kerajaan Kutai Kartanegara. Wajar kalau pengaruhnya sampai ke wilatah Sambas. Jadi pada waktu itu belum ada istilah “melayu atau dayak”. Istilah atau penyebutan itu ada setelah masuknya Islam. Penduduk yang kemudian masuk Islam dinamakan "Melayu" dan penduduk yang masih menganut Hindu (Kaharingan) dinamakan "Dayak" (Dayak artinya "orang hulu", yakni orang yang tinggal di hulu sungai atau pedalaman). Disebut orang pedalaman atau hulu bukan karena mereka terdesak oleh masuknya Islam tapi karena memang mereka belum tersentuh oleh syiar Islam, disebabkan mereka tinggal jauh di pedalaman. Pada waktu itu Islam umumnya memang disyiarkan oleh pedagang-pedagan dari Gujarat, Hadramaut dan dari Tiongkok (armada Laksamana Cheng Ho). Pedagang-pedagang dan penjelajah lautan ini hanya singgah dan berdagang di daerah pesisir.
Rombongan dari pulau Jawa (Majapahit) ini pertama kali mendarat disebuah tempat yang dinamakan Pangkalan Jambu, sebuah tempat yang berada di Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas yang sekarang. Itulah sebabnya daerah tempat mendaratnya rombongan bangsawan dari Jawa Dwipa ini dinamakan Jawai sampai sekarang. 


Masjid Sultan Muhammad Syafi'oeddin II

Sedangkan sejarah berdirinya Kesultanan Sambas bermula di Kesultanan Brunei yaitu ketika Sultan Brunei ke-9 --Sultan Muhammad Hasan-- wafat pada tahun 1598 M, maka kemudian putra Baginda yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan Brunei yaitu daerah Sarawak kepada Pangeran Muda Tengah. Maka kemudian pada tahun 1629 M, Pangeran Muda Tengah menjadi Sultan di Sarawak sebagai Sultan Sarawak pertama dengan gelar Sultan Ibrahim Ali Omar Shah yang kemudian Baginda lebih populer di kenal dengan nama Sultan tengah atau Raja Tengah yaitu merujuk kepada gelaran Baginda sebelum menjadi Sultan yaitu Pangeran Muda Tengah. 
Setelah sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil (Kota Kuching sekarang ini), Baginda Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Johor. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi Sultan adalah Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang)dimana Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah Mak Muda dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi kesalahpahaman antara Baginda Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga kemudian membuat Baginda Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat dari Selat Malaka, kapal rombongan Baginda Sultan Tengah ini dihantam badai yang sangat dahsyat. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu malam, setalah badai mereda, kapal Baginda Sultan Tengah tenyata telah terdampar di pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang menjadi Sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) yang baru saja kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir Makkah) yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah berkunjung pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan Banten pada tahun yang sama. 
Baginda Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika. Setelah tinggal beberapa lama di Kesultanan Sukadana ini, setelah melihat perawakan dan kepribadian Baginda Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita yang bernama Putri Surya Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Sultan Tengah pun kemudian menerima perjodohan ini sehingga kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri Surya Kesuma dengan adat kebesaran Kerajaan Kesultanan Sukadana. Setelah menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang aman di sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar Selat Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil Johor (Raja Bujang) itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka kemudian pada tahun 1638 M berangkatlah rombongan Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan alat senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu Sapudak. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan Panembahan Sambas.
Tidak lama setelah Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama Raden Kencono (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencono ini adalah juga menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan Sambas dan anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman kemudian dianugerahkan gelaran Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Keraton Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Aryo Mangkurat.
Tidak lama setelah kelahiran cucu Baginda Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke Negerinya yang telah begitu lama di tinggalkannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar tahun 1652 M.
Ditengah perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu disuatu tempat yang bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Baginda Sultan Tengah ditikam dari belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh Baginda Sultan Tengah hingga pengawal itu tewas. Namun demikian luka yang di tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah di sholatkan kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan Sarawak oleh Menteri-Menteri Besar Kesultanan Sarawak, dimakamkan di lereng Gunung Sentubong. Adapun Putri Surya Kesuma setelah kewafatan suaminya yaitu Almarhum Sultan Tengah, kemudian memutuskan untuk kembali ke Kesultanan Sukadana yaitu tempat dimana ia berasal bersama dengan keempat anaknya.
Di Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahnya yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden Aryo Mangkurat. Tentangan dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini karena iri dan dengki dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat mendapat simpati dari para pembesar Panembahan Sambas saat karena baik prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam memagang jabatan Menteri Besar disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang mayoritas masih menganut hindu itu sehingga dari hari ke hari semakin banyak petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk Islam sehingga Raden Sulaiman ini semakin dibenci oleh Raden Aryo Mangkurat.
Tekanan terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Aryo Mangkurat ini kemudian semakin kuat hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat dengan ulah adiknya itu. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1655 M, berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya serta orang-orangnya yaitu sebagian orang-orang Brunei yang ditinggalkan Ayahnya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk Islam.
Dari pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota Bandir ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau karena ia (Ratu Anom Kesumayuda)telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi ulah adiknya yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas ini.
Sekitar 5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1671 M Raden Sulaiman mendirikan Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin yaitu mengambil gelar dari nama gelaran Abang dari Ibundanya (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika, Sultan Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama Lubuk Madung.
Setelah memerintah selama sekitar 15 tahun yang di isi dengan melakukan penataaan sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari Tahta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin (Raden Bima), atas persetujuan dari Ayahnya (Raden Sulaiman) kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat tepat di depan percabangan 3 buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muare Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya yaitu dari tahun 1685 M itu hingga berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas pada tahun 1956 M atau sekitar 250 tahun.
Kerajaan Banjar menaungi wilayah Sungai Sambas dimulai dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang berkuasa di wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas itu kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-17 dan digantikan oleh Panembahan Sambas hindu yang menguasai wilayah Sungai Sambas itu selanjutnya. Panembahan Sambas hindu ini didirikan oleh orang-orang Jawa yang merupakan Bangsawan Jawa dari Raja Majapahit Wikramawardhana. Sejak berdirinya Panembahan Sambas hindu bernaung dibawah Kesultanan Sukadana hingga awal abad ke-17 M dan selanjutnya beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor.Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh dan berdirilah Kesultanan Sambas.Kesultanan Sambas yang didirikan pada sekitar tahun 1675 M oleh keturunanan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah dari Kesultanan Brunei. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti pada Kerajaan manapun hingga kemudian baru pada tahun 1855 M (pada masa Sultan Umar Kamaluddin, Sultan Sambas ke-12) Kesultanan Sambas mulai dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga seluruh Kerajaan-Kerajaan yang ada di Indonesia ini pada masa itu terutama di Pulau Jawa). Sehingga sejak masa Sultan Sambas pertama (1675) hingga masa Sultan Sambas ke-11 (1855) yaitu selama 180 tahun, Kesultanan Sambas itu berdaulat penuh yaitu tidak ada pihak manapun yang menaungi, mengendalikan apalagi menguasai Kesultanan Sambas.
Jadi Kesultanan Sambas berbeda dengan Panembahan Sambas apalagi Kerajaan Melayu hindu Sambas yang bernaung kepada Kerajaan Banjar itu. Sedangkan Kesultanan Sambas tidak pernah bernaung dibawah Kerajaan manapun yang mana Sultan-Sultan Sambas itu adalah Keturunan Nabi Muhammad Saw (Ahlul Bayt) melalui Sultan-Sultan Brunei. Sedangkan yang tercantum dalam Kitab Negarakertagama itu adalah Kerajaan Sambas kuno yang menunjukkan bahwa paling tidak sekitar abad ke-13 M di wilayah Sungai Sambas telah berdiri Kerajaan yang cukup besar. Sedangkan Kesultanan Sambas adalah Dinasti Penguasa di Sungai Sambas yang paling akhir masanya dimana pada masa berdirinya Kesultanan Sambas, Kerajaan Majapahit telah runtuh sedangkan Kesultanan Banten dan Kesultanan Demak kekuasaannya tidak sampai ke Kesultanan Sambas apalagi Kesultanan Mataram terlalu lemah yang kemudian pecah menjadi 3 buah Kesultanan yang kecil-kecil (Yogyakarta, Mangkunegara dan Surakarta). Bahkan Kesultanan Sambas selama sekitar 100 tahun yaitu dari paruh pertama abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-19 M merupakan Kerajaan Terbesar di wilayah pesisir Barat Pulau Borneo ini (Kalimantan Barat) hingga kemudian Hindia Belanda masuk ke wilayah pesisir Barat Pulau Borneo ini pada awal abad ke-19 M dimana pihak Hindia Belanda ini yang membuat besar Kesultanan Pontianak sehingga kemudian Kesultanan Pontianak menggantikan posisi Kesultanan Sambas sebagai Kerajaan Terbesar di wilayah ini pada masa itu.



Peninggalan Kesultanan Sambas




Peninggalan dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami' Kesultanan Sambas, Istana Sultan Sambas, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14 serta sebagian alat-alat kebesaran Kerajaan seperti tempat tidur Sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat untuk makan sirih, pakaian kebesaran Sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah, 3 buah meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan keramik dari negeri Tiongkok dan 4 buah kaca cermin besar dari Kerajaan Perancis dan 2 buah kaca cermin besar dari Kerajaan Belanda. Sebagian besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya telah hilang atau terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak Kesultanan Sambas masih terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas ini bertebaran di wilayah Borneo (Kalimantan) Barat ini baik di Kota Sambas, Singkawang dan Pontianak yang sebagiannya masih menggunakan gelaran Raden


Sultan-Sultan Sambas
Sultan-Sultan Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan yaitu :

  1. Sultan Muhammad Shafiuddin I bin Sultan Ibrahim Ali Omar Shah ( Sultan Tengah ) 1671 - 1682 )
  2. Sultan Muhammad Tajuddin bin Sultan Muhammad Shafiuddin I 1682 - 1718 )
  3. Sultan Umar Aqamaddin I bin Sultan Muhammad Tajuddin 1718 - 1732 )
  4. Sultan Abubakar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin I 1732 - 1762 )
  5. Sultan Umar Aqamaddin II bin Sultan Abubakar Kamaluddin 1762 - 1786 ) dan 1793 - 1802 )
  6. Sultan Achmad Tajuddin bin Sultan Umar Aqamaddin II 1786 - 1793 )
  7. Sultan Abubakar Tajuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II 1802 - 1815 )
  8. Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I bin Sultan Umar Aqamaddin II 1815 - 1828 )
  9. Sultan Usman Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin II 1828 - 1832 )
  10. Sultan Umar Aqamaddin III bin Sultan Umar Aqamaddin II 1832 - 1846 )
  11. Sultan Abu Bakar Tajuddin II bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I 1846 - 1854 )
  12. Sultan Umar Kamaluddin bin Sultan Umar Aqamaddin III 1854 - 1866 )
  13. Sultan Muhammad Shafiuddin II bin Sultan Abubakar Tajuddin II 1866 - 1924 )
  14. Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II bin Sultan Muhammad Shafiuddin II 1924 - 1926 )
  15. Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II 1931 - 1944 ) ( Sultan Sambas Terakhir )
  16. Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin 1944 - 1984 ) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
  17. Pangeran Ratu Winata Kusuma bin Pangeran Ratu Muhammad Taufik 2000 - 2008 ) ( Kepala Rumah Tangga Istana Kesultanan Sambas )
Sumber : id.wikipedia.org Post By. Hery Monot - monotroy76@gmail.com